Akses WiFi Gratis Rawan Pencurian Data

Akses WiFi Gratis Rawan Pencurian DataJakarta, HanTer – Internet saat ini telah menjadi kebutuhan setiap masyarakat, tidak hanya di perkotaan tapi juga diberbagai penjuru tanah air. Tren meningkat pada pengguna media sosial (medsos) turut mendongkrak kebutuhan internet, sehingga tak jarang berbagai fasilitas umum seperti kafe, restoran, hingga mal dan hotel, menyediakan akses internet gratis melalui jaringan WiFi.

Tujuannya jelas untuk menjaring pengunjung atau konsumen mendatangi tempat usahanya. Harus diakui, ketersediaan WiFi gratis ini menjadi daya tarik atau nilai tambah tersendiri. Namun, tahukah Anda, jika fasilitas tersebut rawan aksi kejahatan cyber para hacker?

Sejumlah penelitian yang dilakukan lembaga independen maupun pihak swasta telah membuktikannya. Baru-baru ini, sebuah perusahaan software keamanan komputasi melakukan penelitian terhadap potensi kehilangan data pengguna gadget yang mengakses WiFi gratisan itu. Hasilnya, 77 persen pengguna smartphone dan tablet berisiko kehilangan privasi dan pencurian identitas melalui jaringan Wi-Fi.

Risiko itu semakin meningkat karena rendahnya keamanan jaringan WiFi itu dan penggunanya yang tidak memiliki virtual private network (VPN) untuk melindungi perangkat mobile maupun jenis gadget lainnya.

“Pemahaman masyarakat Indonesia terhadap keamanan teknologi masih rendah. Ini membuka peluang risiko kejahatan cyber oleh orang-orang yang berniat buruk maupun hacker yang sedang menguji coba kemampuannya,” kata Pakar Teknologi Informatika, Nonot Harsono, kepada Harian Terbit di Jakarta, Jumat (5/6/2015).

Ia menuturkan, jaringan bebas (free WiFi) yang biasa kita gunakan memiliki protokol internet yang terbuka. Artinya, begitu seseorang menggunakannya, akan terhubung dengan jaringan dan mesin lain. Kemudian oknum tidak bertanggung jawab seperti hacker bisa saja mengirimkan sejumlah software maupun virus untuk mencuri data maupun sekadar melihat dokumen pribadi seseorang.

“Segala kemungkinan bisa terjadi, karena protokol internet itu kan open. Artinya, begitu terhubung dengan jaringan, bisa jadi dihubungi dengan mesin lain. Kemudian dikirim program yang isinya adalah untuk mengirimkan fail membaca data dan mengirimkan alat tertentu, misalkan spyware untuk spionase dan software semacam program komputer dikirim untuk melakukan perintah tertentu,” papar dia.

Jika pengguna menuruti perintah software tersebut, lanjut dia, maka menjadi jalan awal untuk melancarkan aksi-aksi kejahatannya. “Jika terinfeksi dan masuk program yang memerintahkan baca data kita dan kirim kealamat tertentu jadi masuk,” ujarnya.

Kendati begitu, menurut mantan Komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) ini, masyarakat tidak perlu terlalu khawatir, sebab jika kita tidak menggunakan fasilitas WiFi tersebut maka akan aman dari praktek peretasan itu.

Pemerintah sendiri, tuturnya, saat ini telah gencar melakukan pertemuan guna membahas Global Cyber Security Agenda (GSA) dan rencana pembentukan Badan Cyber Nasional (BCN). “Makanya cyber itu jadi agenda GSA, acara internasional pertemuan seluruh dunia tentang keamanan cyber,” katanya.

Sementara itu, Manager Operasional Avast Security, Ondrej Vlcek, memaparkan, hanya 10 persen orang Indonesia yang menggunakan virtual private network (VPN) untuk melindungi perangkat mobile mereka, dari 1.100 masyarakat Indonesia yang telah disurvei.

“Mayoritas orang Indonesia tidak sadar bahwa semua informasi pribadi pada perangkat mobile mereka menjadi tidak memiliki pertahanan jika terhubung ke Wi-Fi publik yang tidak memiliki perlindungan,” imbuhnya.

Jaringan-jaringan semacam itu, dikatakan Vlcek, juga akan menciptakan titik-titik masuk bagi hacker untuk menyerang jutaan konsumen Indonesia setiap harinya.

Mengutip hasil riset Asosiasi Jasa Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII) dan Pusat Kajian Komunikasi, Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia (Puskakom UI) terkait kondisi kekinian yang ada pada penggunaan internet di tanah air, mencatat alasan utama orang Indonesia menggunakan internet.

Tiga alasan utamanya yakni, sebesar 72 persen digunakan untuk mengakses sarana sosial dan komunikasi, 65 persen untuk sumber informasi harian, dan 51 persen untuk mengikuti perkembangan zaman. Riset itu kemudian merinci kegiatan yang biasa dilakukan orang Indonesia saat menjelajah dunia maya. Sebanyak 87 persen untuk berjejaring sosial, 69 persen untuk mencari informasi, 60 persen dipakai untuk pesan instan, dan mencari berita terbaru sebesar 60 persen.

Tags:
author

Author: 

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.