Jakarta,Suarasulutnews.co.id – Real Estate Indonesia (REI) berharap Bank Indonesia (BI) dapat menurunkan suku bunga acuan perbankan (BIrate) untuk mendorong pertumbuhan pasar properti dalam negeri.
Sekretaris Jenderal REI Hari Raharta Sudrajat mengatakan Bank Indonesia telah menurunkan aturan uang muka properti menjadi 20 persen dari sebelumnya 30 persen. Namun, hal ini belum mampu meningkatkan daya beli masyarakat terhadap properti.
“Uang muka sudah turun, kami harapkan BI rate juga turun menjadi lima persen atau enam persen (saat ini BI rate 7,5 persen),” ujar Hari di Jakarta, Kamis (6/8/2015).
Dengan tingginya BI rate maka cicilan untuk kredit pemilikan rumah (KPR) kurang bersahabat, yakni bunganya double digit. Padahal, masyarakat membeli rumah tidak hanya memikirkan uang muka, tetapi cicilan menjadi pertimbangan juga.
“Kita harapkan KPR itu single digit. Sekarang kan double digit, jadi masyarakat masih berat. Sekarang buat apa double digit kalau sedikit yang mengajukan KPR, mendingan single digit tapi ini meningkatkan permintaan KPR,” ucapnya.
Hal senada juga diungkapkan Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI). Menurut Sekretaris Jenderal APPI Efrizal Sinaga, penurunan BI rate memang diperlukan untuk menurunkan angsuran kredit.
“Agar angsuran bisa lebih murah apa syaratnya? Ya turunkan tingkat suku bunga (BI rate). Sekarang bagaimana mau menurunkan angsuran kalau suku bunganya tidak turun,” pungkasnya.
Dia menambahkan penurunan BI rate sebesar 25 basis point (bps) dari 7,75% menjadi 7,5% dianggap kurang berdampak besar bagi kredit pembiayaan.
“Contoh seperti kemarin BI rate pernah turun 25 bps, itu tidak menggigit karena 25 bps kalau diturunkan kecost of fund, itu secara rupiah paling hanya beberapa ribu saja. Tapi, kalau bisa turun 50% itu kan bisa membawa stimulus dan dampak psikologis yang lebih baik, ya minimal 50-75 bps,” jelasnya.
Dia berharap penurunan BI rate bisa dilakukan secepatnya karena didukung kuatnya cadangan devisa dan turunnya inflasi komponen inti. Berdasarkan data BPS, tingkat inflasi komponen inti Juli 2015 tercatat sebesar 4,86% atau lebih rendah dari inflasi komponen inti Juli tahun lalu yang secara year on year sebesar 5,04%.
Menurutnya, regulator tak perlu menunggu kenaikan suku bunga The Fed yang tidak pasti kapan kenaikannya agar kebijakan yang dikeluarkan tersebut tidak terlambat sehingga mampu mendorong laju perekonomian nasional.
“Kalau misalnya The Fed nanti akan menaikkan semuanya bisa buyar kan nantinya. Nah, sekarang apakah kita menunggu sampai Oktober dulu baru setelah itu kita lihat,. Kalau kita menunggu sampai Oktober lalu November melakukan perubahan setelah itu orang juga orientasinya sudah liburan, sudah masuk tutup buku, dan hari kerja juga sudah tidak banyak lagi. Terus, mau berapa banyak yang bisa kita tingkatkan?” tuturnya.(wec/red)