Jakarta – Amnesti pajak atau pengampunan pajak makin santer di tahun 2015. Pengampunan ini dinilai dapat memberikan jalan yang lebih longgar bagi para pemarkir dana di luar negeri sekaligus menarik pajak dari dana tersebut.
Pajak masih menjadi sumber utama penerimaan Indonesia. Di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, pemerintah berambisi meningkatkan target penerimaan pajak tahun 2015 sebesar Rp1.294,26 triliun atau meningkat 31,41% dari realisasi tahun 2014 sebesar Rp984,90 triliun.
Realisasi pendapatan pajak tahun 2014 memang tidak sepadan dengan target. Pajak yang berhasil dikumpulkan hanya 20,72% dari target sebesar Rp1.072 triliun, atau shortfall sebesar Rp87,1 triliun. Sementara itu, untuk tahun ini, dalam kondisi normal atau realistis, penerimaan pajak hanya akan terkumpul Rp1.046,2 triliun, atau Rp449,5 triliun lebih rendah dari target yang dibebankan.
Sepertinya mencapai target pajak sebesar itu agak terseok-seok. Realisasi penerimaan pajak per 30 September 2015 yang dirilis Direktorat Jenderal Pajak menunjukkan pencapaiannya baru 53,02% dari target atau senilai Rp686,27 triliun. Pencapaian tersebut lebih rendah dari realisasi pada periode yang sama 2014 yang mencapai Rp688,05 triliun, atau turun 0,26%. Pada periode yang sama 2014, penerimaannya sudah mencapai 64,16% dari target. Realisasi penerimaan pajak per 30 September 2014 meningkat sebesar 7,82% dari realisasi pada periode yang sama 2013 yang sebesar Rp638,17 triliun.
Masih rendahnya penerimaan pajak pada 2015 disebabkan terjadinya penurunan capaian pada sejumlah pajak. Penurunan paling besar terjadi pada PPN migas yakni mencapai 33,07%, PBB turun 6,34%, dan PPN dan PPnBM turun sebesar 3,29%. Hanya satu jenis pajak yang mengalami peningkatan yakni PPh non-migas yang naik 8,65%.
Tax amnesty menjadi salah satu pendekatan untuk menarik “dana parkir” milik orang Indonesia sekaligus pendapatan pajak. Pengampunan pajak ini makin santer mendapatkan perhatian. Bahkan rencana tax amnesty yang akan direalisasikan pada 2017 didorong untuk bergeser menjadi pada 2015.
Namun, tampaknya “bola salju pengampunan” makin liar menggelinding. Pengampunan pajak melebar isunya hingga pemutihan kasus pidana umum lainnya atau special amnesty. Spekulasi munculnya dampak lain yang kurang menguntungkan negara dengan meluasnya pengampunan tampaknya harus dikembalikan pada semangat awal, yakni menarik dana yang diparkir di luar negeri dan memetik pendapatan dari dana yang masuk tersebut.
Menarik Dana WNI di Luar Negeri
Dalam pertemuan yang digelar Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan bersama Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang membahas tentang pengampunan pajak terungkap bahwa dengan adanya kebijakan tersebut pemerintah melalui Ditjen Pajak membidik dana warga negara Indonesia (WNI) yang parkir di luar negeri. Ada sekitar US$30 miliar atau Rp420 triliun (kurs Rp14.000) milik pengusaha Indonesia yang sengaja diparkir di luar negeri untuk menghindari pajak.
Objek tax amnesty adalah selisih antara aset lancar bersih dan aset bersih yang dilaporkan ke Ditjen Pajak. Sementara itu, pemohon tax amnesty hanya diharuskan membayar penalti kecil dari selisih tersebut.
Mengenai keberadaan dana WNI di luar negeri, Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo menyebutkan ada dana WNI di Singapura berjumlah sekitar Rp3.000 triliun. Dana tersebut bisa ditarik ke Indonesia dengan pengampunan pajak terutang dengan imbalan menyetor pajak dengan tarif yang lebih rendah. Dengan kebijakan tersebut, Indonesia akan mendapatkan 10% hingga 30% dari Rp3.000 triliun dana WNI di Singapura itu atau sebesar Rp300 triliun-Rp600 triliun.
Sementara itu, Anggota Badan Legislasi (Baleg) dari Fraksi PDI Perjuangan Hendrawan Supratikno memprediksi jumlah uang yang tidak masuk sistem perbankan nasional itu mencapai Rp7.000 triliun. Uang itu tak hanya mengendap di dalam negeri, tetapi juga ada yang diparkir di luar negeri.
Hingga Oktober 2015, pembahasan rancangan undang-undang (RUU) yang akan dijadikan landasan hukum untuk memayungi penindakan pengampunan pajak tersebut masih berlangsung. Menurut Sekretaris Panitia Kerja (Panja) Penerimaan Negara DPR RI, M. Misbakhun, butuh proses politik yang cepat di DPR untuk RUU Tax Amnesty ini agar bisa menjadi bagian penerimaan negara, misalnya pada APBN-P 2016.
Misbakhun mengatakan konsep RUU Tax Amnesty yang diterapkan oleh pemerintah nanti merupakan sebuah upaya pemerintah untuk menutupi kekurangan penerimaan pajak pada 2015. Selain itu, kebijakan tax amnesty juga harus menjadi bagian dari sebuah rekonsiliasi nasional sehingga nantinya pemerintah tidak hanya mendapat penerimaan, tetapi juga menyelesaikan permasalahan struktural di bidang penegakan hukum.
Tax amnesty yang digagas meliputi tiga aspek. Pertama, tax amnesty harus menyangkut repatriasi modal sehingga uang WNI di luar negeri bisa masuk kembali ke dalam sistem perbankan Indonesia. Kedua, aspek underground atau hidden economy di dalam negeri harus diberi jalan keluar supaya masuk dalam sistem ekonomi formal. Ketiga, masalah piutang pajak yang ada harus diselesaikan. “Dengan tiga hal tersebut diselesaikan, diharapkan permasalahan tax amnesty akan secara keseluruhan menuntaskan permasalahan yang selama ini tertunda,” jelas Misbakhun.
Direkktur Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan usulan pengampunan pajak yang saat ini tengah digodok oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR dalam Rancangan Undang-Undang Pengampunan Nasional masih memiliki banyak kelemahan, salah satunya adalah keakuratan data.
“Pengampunan pajak akan diberikan segera. Padahal, pada saat bersamaan, kita belum memiliki data akurat, administrasi yang baik, dan Indonesia baru akan mengikuti inisiatif BEPS (base erosion and profit shifting) yang akan memampukan kita menangkal praktik penghindaran pajak agresif dan pertukaran data otomatis dengan negara lain,” kata Yustinus.
Hal itu akan menjadi ironis dan misleading karena justru saat pemerintah memiliki stick untuk law enforcement, aturan tersebut tak dapat digunakan karena objek pajak sudah diampuni terlebih dahulu. Dengan demikian, negara berpotensi hanya mendapat hasil yang tidak optimal. Selain itu, sistem administrasi pengawasan kepatuhan pasca-pengampunan pun belum jelas undang-undangnya sehingga berpotensi terjadi maladministrasi yang akan berdampak pada kepatuhan pajak di masa mendatang. “Kalau sudah matang, pengampunan pajak akan optimal diberlakukan pada 2017-2018,” terang Yustinus.
Kemudian Yustinus mengusulkan penerapan tarif dengan besaran yang berbeda. Bagi “pesakitan” yang belum terdaftar sebagai wajib pajak (WP) diusulkan kena tarif yang lebih tinggi dibandingkan WP yang aktif. Tanpa dikotomi yang jelas, dikhawatirkan pengampunan berpotensi mengecilkan hati WP yang sudah terdaftar dan menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) secara rutin. Besaran tarifnya misalnya 5% dan 10%, termasuk membedakan perlakuan terhadap WP UMKM.
Tax amnesty pernah diterapkan di India dan dianggap berhasil. Tarif sebesar 5% diterapkan di India dan berhasil mengumpulkan pajak sebesar Rp25 triliun pada tahun 1998 dengan penerapan special amnesty. Italia juga pernah memberlakukan kebijakan ini yang dikombinasikan dengan kebijakan pemerintah lainnya yaitu kebijakan devisa. Dalam hal ini, negara tersebut menjelaskan bahwa apabila seseorang menaruh dana di luar negeri hingga batasan tertentu maka akan dianggap sebagai kejahatan.
Sumber: Majalah Warta Ekonomi Edisi 20