Bolmong,Suarasulutnews.co.id – Bupati Bolaang Mongondow Hi Salihi Mokodongan SH, Menghadiri rapat koordinasi di Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, gedung Mangggala Wanabakti ,bersama Direktorat Jendral Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Jakarta, Jumat (13/5).
Rakor tersebut memaparkan hasil penelitian tim terpadu terkait usulan perubahan fungsi pokok kawasan hutan dari sebagian kawasan Cagar Alam Gunung Ambang , seluas 3.379.97 ha menjadi kawasan Hutan Lindung dan kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT), di Kabupaten Bolaang Mongondow dan Kabupaten Bolaang Mongondow Timur, Propinsi Sulut.
Motivasi Usulan dari CA menjadi HL dan HPT :
PLTMH Mobuya dibangun tahun 2003 dan mulai beroperasi tahun 2006
Akses jalan yang melintasi CA dari Desa Tuduaog – Desa Kolingangaan telah ada sejak tahun 2000.
Akses jalan yang melintasi CA dari Desa Sinsingon-Desa manembo telah ada sejak tahun 1960.
Aktivitas masyarakat penggarap kebun Holtikultura sejak tahun 1980
Pengembangan potensi panas bumi dengan cadangan 130 MW untuk memenuhi kebutuhan listrik , dan telah ditetapkan sebagai wilayah kerja panas bumi.
Rakor yang sejatinya mendengarkan hasil paparan/ekspose Tim Terpadu berjalan cukup alot hingga sore hari, dengan rekomendasi tidak sesuai usulan pemohon, dalam hal ini Pemerintah Propinsi Sulut, Pemkab Bolmong dan Pemkab Boltim. Rekomendasinya adalah ; Taman Wisata Alam seluas 3.141.59 ha, Hutan Produksi Terbatas seluas 203,60 ha, serta tetap dipertahankan sebagai Cagar Alam seluas 33,89 ha. Sementara Pemprop Sulut, Pemkab Bolmong dan Pemkab Boltim berkeinginan statusnya agar diubah menjadi Hutan Lindung dan Hutan produksi terbatas. Keinginan tersebut dilandasi oleh berbagai pertimbangan tekhnis serta kenyataan di lapangan yang ada, dimana tidak sesuai dengan hasil penelitian Tim terpadu, karena hanya observasi lapangan beberapa hari saja (kurang dari seminggu).
Kadis Kehutanan Propinsi Sulut mengatakan, jika statusnya tetap cagar alam dan taman wisata alam maka kendali pengawasan tetap pada pemerintah Pusat, sehingga menyulitkan pemerintah daerah melakukan action demi menjaga kelestarian alam, karena segala sesuatunya adalah “urusan pusat”. Contoh KSDA Gunung Ambang yang hanya diawasi oleh 3 orang Polhut .
Sementara bila statusnya adalah Hutan lindung dan Hutan produksi terbatas pengawasannya berada di tangan pemerintah daerah, sehingga lebih terkontrol dan cepat penanganannya terkait tindakan demi menjaga kelestarian alam.
Senada dengan Kadishut Sulut, Bupati Bolmong Hi Salihi mengatakan, apa yang direkomendasikan oleh Tim terpadu tidak sesuai dengan keadaan di lapangan, terutama vegetasi hutan dan keberadaan hewan disana (zona usulan perubahan fungsi).
“Saya kurang berkenan dengan hasil rekom tim terpadu karena setelah melakukan peninjauan beberapa kali, sudah tidak ada lagi pohon kayu besar disana dan hewannya hampir punah. Kami mohon agar pengawasan atasnya berada di tangan pemerintah daerah, agar kami dapat berkontribusi lebih intens, lebih cepat dan tepat, terkait permasalahan yang terjadi, sesuai semangat amanat UU tentang Pemerintah Daerah”ujar Bupati.
Ucapan senada juga dikatakan oleh Bupati Boltim Sehan Landjar, yang pada intinya lebih tepat jika pemerintah pusat menyetujui usulan dari pemerintah daerah.
Setelah sesi dialog dan tanya jawab seputar hasil paparan tim terpadu, dan belum didapatkan keputusan final, maka Dirjen PKTL memutuskan untuk mempertimbangkan pendapat dari pemerintah daerah, meminta Tim Terpadu melakukan penelitian dan kajian lebih mendalam, dan menghitung kembali skoring penentuan status, mengacu kenyataan sebenarnya terutama pada vegetasi, fauna serta Sosekbud masyarakat. Hasil rekom atas usulan perubahan fungsi masih menunggu hasil kerja dari tim selanjutnya.
Rakor tersebut dihadiri oleh Dirjen PKTL Kemen LHK RI, Kadishut Sulut, Bupati Bolmong, Bupati Boltim, Tim Terpadu, jajaran Kemen LHK RI, anggota DPRD, Kadishutbun Bolmong dan Boltim bersama jajaran, kabag Humas Bolmong. (Sulhan)