Jakarta, Kamis 9 Mei 2018. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Advokasi Data Hak Guna Usaha (HGU) mengecam kebijakan Menko Perekonomian Darmin Nasution yang melarang informasi dan data kebun kelapa sawit dibuka ke publik, pasalnya langkah ini bertentangan dengan UU No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), pasal 11 ayat 2 bahwa data HGU merupakan informasi yang bersifat “wajib tersedia setiap saat.”
Surat Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Pangan dan Pertanian, Musdalifah Machmud, dirilis dengan alasan melindungi kepentingan sektor kelapa sawit yang bernilai strategis terhadap ketahanan ekonomi nasional. [1] Arahan tersebut merupakan bentuk intervensi pemerintah kepada pihak swasta untuk tidak membuka data HGU sawit.
Surat arahan Menko Perekonomian tersebut bertentangan dengan UU KIP, terutama putusan Mahkamah Agung yang memutuskan data HGU kelapa sawit terbuka untuk publik. [2] Surat arahan pemerintah yang ditujukan kepada Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), dan pimpinan perusahaan-perusahaan di sektor kelapa sawit tersebut sama sekali tidak memiliki dasar hukum dan harus diabaikan, jika pemerintah dan industri sawit ingin membangun reputasi yang baik di mata dunia seharusnya dimulai dari transparansi atas data.
Poin-poin penting yang disampaikan dalam surat edaran itu pun saling bertentangan satu sama lain. Bagaimana mungkin Pemerintah akan mendorong kebijakan untuk pelaksanaan praktek perkebunan sawit berkelanjutan jika data informasi penting seperti HGU justru dikecualikan. Diktum pertama huruf a-e yang berisi tentang Verifikasi luas perkebunan kelapa sawit, Inpres Moratorium Sawit, Tumpang tindih kebun sawit dengan kawasan hutan, percepatan kebijakan satu peta dan penguatan ISPO tidak akan terlaksana dengan baik tanpa adanya transparansi dan partisipasi publik yang justru dijabarkan dalam diktum ke 2-4 yang jelas-jelas jauh dari komitmen sawit berkelanjutan.
Selain itu, langkah ini dinilai bertentangan dengan instruksi Presiden Jokowi terkait percepatan penyelesaian masalah pertanahan dan konflik agraria antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan negara (BUMN) dan swasta. Pasalnya, sebagian besar konflik perkebunan tersebut disebabkan oleh HGU perusahaan sawit yang bermasalah dan tumpang tindih dengan wilayah garapan masyarakat, kampung dan desa. Salah satu prasyarat untuk menyelesaikan dan mengurai konflik agraria tersebut adalah adanya keterbukaan data HGU dan penguasaan lahan. Menurut catatan KPA, dari 144 konflik agraria perkebunan yang terjadi pada tahun 2018, 60 % terjadi di perkebunan sawit.
Diktum ketiga dari Surat yang ditandatangani Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian ini meminta kepada Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah terkait untuk menggolongkan data dan informasi mengenai Hak Guna Usaha (HGU) sebagai informasi yang dikecualikan.
Penetapan informasi publik sebagai informasi yang dikecualikan sebagaimana disebut Pasal 6 UU KIP mesti diuji terhadap beberapa poin, yakni:
Informasi yang dapat membahayakan negara;
Informasi yang berkaitan dengan kepentingan perlindungan usaha dari persaingan usaha tidak sehat;
Informasi yang berkaitan dengan hak-hak pribadi;
Informasi yang berkaitan dengan rahasia jabatan; dan/atau
Informasi publik yang diminta belum dikuasai atau didokumentasikan.
Sementara, informasi HGU merupakan informasi penting yang mesti diketahui para pihak berkepentingan guna mendorong pengelolaan perkebunan kelapa sawit lebih profesional dan berkelanjutan, sebagaimana yang diberikan standarnya oleh ISPO maupun RSPO. Pengelolaan perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan menjunjung prinsip keterbukaan/transparansi. Sehingga pengecualian informasi HGU ini merupakan langkah mundur dalam komitmen Pemerintah untuk meningkatkan praktik perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan.
Apabila perolehan HGU selama ini sesuai prosedur yang legal, maka tidak perlu timbul kekhawatiran atas penggunaan informasi HGU. Permasalahannya, perolehan izin-izin perkebunan (sawit) seringkali “tidak melalui prosedur yang legal”. Sehingga masih banyak ditemui perkebunan yang berada di kawasan hutan, berkonflik dengan masyarakat, bahkan beroperasi tanpa izin yang jelas (tanpa HGU). Ironisnya, “sertifikasi berkelanjutan” masih bisa didapatkan.
Diktum keempat dari Surat yang ditandatangani Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian ini juga menghimbau kepada para perusahaan kelapa sawit untuk tidak membuat kesepakatan dengan pihak lain, memberikan data atau informasi yang berkaitan dengan perkebunan kelapa sawit. Koalisi menilai himbauan ini kontroversial, karena dalam beberapa kasus perusahaan wajib membuka data dan informasi tersebut berdasarkan perintah pengadilan sebagaimana diatur dalam UU KIP pasal 18 ayat 1.
Sementara pasal 18 ayat 2 menyatakan pihak yang rahasianya diungkap memberikan
persetujuan tertulis; dan/atau pengungkapan berkaitan dengan posisi seseorang dalam jabatan-jabatan publik. Artinya para pemilik data dilindungi haknya untuk membuka informasi berdasarkan prinsip kesukarelaan. Sehingga jika pemilik menyetujui untuk membuka data dan informasi, maka hal tersebut sah secara hukum.
***
Catatan:
[1] Surat No.TAN.03.01/265/D.II.M.EKON/05/2019 Tertanggal 6 Mei 2019
[2] MA Pemerintah Wajib Buka Data HGU Sawit Kalimantan:
Putusan Mahkamah Agung No. Register 121 K/TUN/2017 Tertanggal 6 Maret 2017 https://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/feb6010cce27551f7d413980c7023c1f
Kontak:
Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Advokasi Buka Data HGU
YLBHI, Eknas WALHI, FWI, KPA, Sawit Watch, Huma, TUK Indonesia, Auriga, AMAN, Greenpeace Indonesia, Elsam, Jatam
Asep Komarudin, Jurukampanye Hutan Greenpeace Indonesia (0813-10728-770)
Agung Ady Setyawan, Juru Kampanye Forest Watch Indonesia (085783517913)
Era Purnama Sari, Wakil Ketua Bidang Advokasi YLBHI (081210322745)
Benni Wijaya, Kepala Departemen Kampanye KPA (085363066036)
Wida Nindita, Departemen Pengetahuan dan Pengelolaan Sumberdaya Lingkungan Sawit Watch (087873904204)
Mega Dwi Yulyandini, Staff Advokasi dan Kampanye Perkumpulan HuMa Indonesia (081217135686)
Andi Muttaqien, Deputi Direktur Advokasi ELSAM (0812-1996-984)