DALAM bayangan krisis perbatasan menghadapi ISIS dan PKK, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan tiba di Indonesia Kamis 30/7) malam ini, untuk kunjungan kenegaraan yang difokuskan pada kerjasama ekonomi.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia Arrmanatha Nasir menjelaskan bahwa dalam lawatan yang akan berlangsung hingga 1 Agustus itu, Erdogan juga akan memberikan kuliah umum dan mengunjungi Masjid Istiqlal.
“Beberapa waktu terakhir ini hubungan diplomasi Indonesia dan Turki lebih diwarnai soal WNI yang masuk ke Turki untuk bergabung dengan ISIS di Suriah. Namun sebenarnya hubungan Indonesia dan Turki lebih dari itu. Hubungan Indonesia dan Turki sudah terjalin lebih dari 50 tahun,” kata Arrmanatha pada konferensi pers di Jakarta, Kamis (30/7).
Isu-isu ekonomi, industri strategis, dan kerjasama sosial budaya adalah fokus kunjungan Presiden Erdogan. Volume perdagangan Indonesia-Turki, menurut Arrmanatha, kini mencapai hampir $2,5 miliar.
Indonesia mengekspor karet alam dan sintetis serta sandal dan sepatu ke Turki, sementara Turki mengirimkan ekspor terigu ke Indonesia. Surplus perdagangan Indonesia dari perdagangan Turki mencapai $415 juta.
Kesempatan bisnis
Pengamat ekonomi INDEF Enny Sri Hartati melihat bahwa selama ini, volume perdagangan ekspor dan impor antara Indonesia dan Turki relatif masih kecil.
“Jika kerjasama bisa dioptimalkan maka kita bisa melakukan diversifikasi negara tujuan ekspor. Hanya persoalannya, Turki bukan negara industri, sehingga jika kita mau mengekspor ke Turki, kita harus mempercepat pembangunan industri sehingga yang kita ekspor produk-produk jadi.”
Selain diversifikasi negara tujuan ekspor, Turki bisa menjadi rekan bisnis dalam impor. Selama ini, Indonesia mengalami ketergantungan impor gandum dari Amerika Serikat.
Kerjasama bisnis ini memungkinkan ada alternatif negara pengimpor gandum ke Indonesia.
Suriah
Indonesia sendiri bisa menawarkan berbagai macam ekspor produk jadi ke Turki, mulai dari tekstil, alas kaki, kerajinan, furnitur, sampai berbagai macam produk makanan dan minuman jadi.
“Industri makanan kita potensinya besar untuk diekspor, tapi ini belum digarap. Meski industri makanan kita tergantung pada bahan baku impor, jika diolah menjadi makanan jadi, dan diekspor lagi, minmal kita bisa mendapat nilai tambah,” kata Enny.
Lepas dari urusan kerjasama ekonomi, dipastikan banyak urusan sosial, politik dan keamanan yang akan juga menjadi topik pembahasan Presiden Erdogan dan Presiden Joko Widodo.
Sebagaimana kunjungan Erdogan ke Cina, Rabu (29/7), pembicaraan para pemimpin kedua negara juga membahas meningkatnya ketegangan kedua negara terkait perlakuan Cina terhadap suku minoritas Uighur yang sebagian besar beragama Islam.
Dalam konteks Indonesia, kedatangan Erdogan berlangsung hanya sehari setelah jatuhnya vonis pengadilan terhadap seorang etnis Uighur Cina karena dinyatakan bersalah untuk dakwaan terorisme. Tiga warga Uighur lainnya sudah dijatuhi vonis serupa pada pertengahan Juli lalu. Yang menarik, keempat warga Uighur itu datang ke Indonesia dengan paspor Turki -yang dinyatakan sebagai paspor palsu oleh pengadilan.
Menanggapi ini, Arrmanatha mengatakan, “Sampai sekarang pemerintah Turki belum mengatakan bahwa paspornya tidak asli. Sudah kita tanyakan, apakah ini original, belum ada tanggapan, sehingga kita memprosesnya sebagai warga negara yang memegang paspor tersebut. Harus dinyatakan palsu oleh negara yang mengeluarkannya. Ini yang jadi persoalan, karena belum ada pernyataan bahwa ini paspor bukan asli.”
Bersamaan dengan itu, ada beberapa WNI yang akan bergabung dengan ISIS tertangkap di perbatasan Turki-Suriah.
Arrmanatha mengatakan bahwa isu-isu seperti paspor palsu etnis Uighur dan WNI di Suriah, jika diangkat oleh Presiden Turki, akan ditanggapi dan dibahas oleh Presiden Jokowi.
“Namun kembali saya tekankan bahwa salah satu fokus utama dari kunjungan Presiden Turki terkait kerjasama yang ada saat ini ekonomi, sosial budaya, dan isu-isu yang menjadi kepentingan bersama.”
Indonesia dan Turki memiliki keanggotaan di berbagai organisasi internasional, seperti sama-sama anggota G-20, G8, dan OKI.
Maka isu-isu yang berkembang dalam forum tersebut akan jadi bagian dari pembahasan, salah satunya upaya mendorong Islam yang moderat di masing-masing negara.
Upaya ini, kata Arrmanatha, pernah dibahas sebelumnya oleh Turki dan Indonesia saat pertemuan Konferensi Asia Afrika di Bandung.(bbc)