Jakarta,Suarasulutnews.co.id-Dengan pertimbangan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 41 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Presiden Joko Widodo pada tanggal 1 Februari 2016 telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyampaian Data dan Informasi oleh Instansi Pemerintah dan/atau Lembaga Swasta dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Dalam PP itu disebutkan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yang selanjutnya disingkat PPATK berwenang meminta dan mendapatkan data dan informasi dari Instansi Pemerintah dan/atau lembaga swasta yang memiliki kewenangan: a. mengelola data dan informasi; dan/atau; b. menerima laporan dari profesi tertentu.
Jenis data dan informasi sebagaimana dimaksud dalam terdiri atas: a. Daftar pencarian orang; b. Laporan harta kekayaan penyelenggara negara; c. Data dan informasi terkait profil pengguna jasa; d. Data dan informasi yang berkaitan dengan kliring dan/atau settlement di industri jasa keuangan; e.
Data dan informasi yang berkaitan dengan potitically exposed persons; f. Data dan informasi kependudukan; g. Data dan informasi di bidang administrasi bidang hukum; h. Data dan informasi mengenai lalu lintas orang atau barang dari dan keluar wilayah Indonesia; i. Data dan informasi di bidang pertanahan; j. Data dan informasi bidang perpajakan; dan k. Data dan informasi lain yang berkaitan dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.
Untuk mendapatkan data dan informasi sebagaimana dimaksud, Kepala ppATK mengajukan permintaan secara tertulis kepada pimpinan Instansi Pemerintah dan/atau lembaga swasta. Permintaan sebagaimana dimaksud, paling sedikit memuat: a. alasan permintaan; b. jenis data dan informasi yang dimintakan; dan c. jangka waktu pemenuhan permintaan data dan informasi.
“Pimpinan Instansi Pemerintah dan/atau lembaga swasta wajib memberikan data dan informasi yang diminta oleh Kepala PPATK sebagaimana dimaksud,” bunyi Pasal 5 PP tersebut.
Ditegaskan dalam PP ini, bahwa penyampaian data dan informasi oleh Instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta sebagaimana dimaksud dikecualikan dari ketentuan kerahasiaan.
Adapun penyampaian data dan informasi sebagaimana dimaksud dapat dilakukan secara: a. elektronik; dan/ atau b. nonelektronik.
Penyampaian secara nonelektronik sebagaimana dimaksud, menurut PP ini, dilakukan dengan mengirimkan surat kepada Kepala PPATK yang disertai dengan: a. data dan informasi yang telah dimuat dalam compact disc, universal serial bus, atau media penyimpan lainnya yang terenkripsi; dan/atau b. data dan informasi yang telah dibuat dalam dokumen hasil cetak (hard copy).
Penyampaian data dan informasi sebagaimana dimaksud dapat dilakukan oleh pejabat atau pegawai yang ditunjuk oleh pimpinan Instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta. Dan atas hal itu, pimpinan Instansi Pemerintah dan/atau lembaga swasta serta pejabat atau pegawai yang ditunjuk sebagaimana dimaksud tidak dapat dituntut secara pidana atau digugat secara perdata atas penyampaian data dan informasi sebagaimana dimaksud, kecuali terdapat unsur penyalahgunaan wewenang.
“Pimpinan Instansi Pemerintah dan/atau lembaga swasta serta pejabat atau pegawai yang ditunjuk sebagaimana dimaksud wajib merahasiakan permintaan data dan informasi oleh PPATK,” bunyi Pasal 10 PP Nomor 2 Tahun 2016 itu.
PPATK sendiri, menurut PP ini, wajib merahasiakan data dan informasi yang diterima dari Instansi Pemerintah dan/atau lembaga swasta, kecuali untuk pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.
“Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan,” bunyi Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2016, yang telah diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly pada tanggal 2 Februari 2016 itu. (Pusdatin/ES/Setkab.go.id)