Jakarta-Anggota DPR dari Fraksi PKB A. Helmy Faishal Zaini meminta Presiden RI Jokowi tidak main-main dengan fungsi intelejen negara, mengingat ancaman global sekarang ini sangat berbahaya bagi kelangsungan berbangsa dan bernegara.
“Karena itu Presiden tak boleh lagi menyatakan ‘ora-opo-opo’ tapi sebaliknya dengan dunia intelejen semuanya harus menjadi waspada dan ‘opo-opo’ atau apa-apa yang menjadi kepentingan negara ini menjadi warning system, sehingga Kepala Badan Intelejen Negara (KaBIN) harus mempunyai kepekaan luar bisa terhadap persoalan Negara,”kata Helmy dalam dialektika demokrasi “BIN dan Pertahanan Nasional” bersama mantan Wakil Ketua DPR RI Priyo Budi Santoso dan pengamat intelejen Yusuf Warsim di Gedung DPR RI Jakarta, Kamis (11/6).
Menurut Helmy, kalau ada seribu masalah, maka semuanya harus bisa diidentifikasi oleh KaBIN. Seperti halnya CIA Amerika Serikat. “Karena itu kalau Pak Sutiyoso benar-benar akan menjadi KaBIN, maka harus diimbangi oleh Wakil Ketua BIN (WakaBIN) dalam menjalankan tugas-tugasnya, mengingat tantangannya sangat kompleks, rumit dan besar,” tegas mantan menteri pembangunan daerah tertinggal itu
Namun demikian kata Helmy Faishal, sesuai UU No.17 tahun 2011 tentang BIN, maka KaBIN itu menjadi hak prerogatif Presiden RI. “Maka, siapapun yang ditunjuk oleh Presiden RI itu merupakan kewenangannya. Hanya saja selama ini banyak terjadi kecolongan, dari kasus bom Bali I dan II, deklarasi ISIS di Bundaran Hotel Indonesia (HI), tapi negara membiarkan itu,” ujarnya.
Menurut Helmy Faishal, sesungguhnya fungsi dan tugas intelejen meliputi politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan (Polesosbudhankam) negara. Sekarang ini ditambah kejahatan dunia cyber (cyber crime), terorisme, Islamic State Irak dan Suriah (ISIS), dan paham, aliran serta ideologi agama radikal yang mengancam eksistensi NKRI. “Kita harapkan Pak Sutiyoso menyadari semua itu dan DPR RI siap memprosesnya,” pungkasnya.
Ditempat yang sama Priyo Budi Santoso menjelaskan, saat ini dibutuhkan pemimpin BIN yang mumpuni, karena tantangannya makin berat. “Proses ini langka, tapi biarkan rakyat yang menilai. Apalagi kini tantangan intelejen itu sangat besar dan berat, dari cyber crime, terorisme lintas batas. Untuk itu dibutuhkan pemimpin BIN yang mumpuni,” kata Priyo.
Priyo menilai sebelum muncul nama Sutiyoso sudah beredar nama-nama lain seperti Waketum PBNU H. As’ad Said Ali sebagai kandidat kuat, juga Syafri Syamsuddin, Ma’ruf Syamsuddin, Fachrurrozi, dan Hendro Priyono.
Priyo menambahkan, jika figur Sutiyoso mempunyai dua wajah; yaitu pertama, kelebihannya mempunyai pengalaman panjang di dunia militer, tempur, Gubernur DKI Jakarta dan sebagainya, yang diharapkan mampu memetakan berbagai aspek tantangan kewilyahan. Kedua, sebagai tokoh senior yang cukup mumpuni dan flamboyan.
“Satu kelemahannya hanya usia yang sudah sepuh, 70 tahun. Tapi, tak perlu khawatir sesuai semboyan bahwa, tak boleh meremehkan orang tua,” ujar politisi dari Partai Golkar itu.
Menurut pengamat Intelejen Yusuf Warsim, BIN itu yang penting mempunyai progresifitas dan inovasi, jangan sampai kecolongan dalam menghadapi kompleksitas tantangan saat ini. Kelebihan Bang Yos adalah selain lama di dunia militer, juga pernah dua periode sebagai Gubernur DKI Jakarta. “Tentu tidak sampai ‘menjual’ Indonesia, sehingga harus mempunyai integritas,” jelasnya.
Namun secara normatif menurut Yusuf, hal itu bisa diterima. “Memang tak bisa berharap banyak siapapun yang yang akan menjadi kepala BIN, karena masih sering terjadi kecolongan dan dalam banyak kasus seperti terorisme justru dibantu AS, maka perlu dilakukan reformasi BIN dengan mengamandemen UU BIN sesuai kondisi saat ini dan Sutiyoso alumni Orde Baru,” tuturnya.(nt/sc)/foto:jaka/parle/iw.